Senin, 19 April 2010

Tiga Langkah Signifikan dalam Membangun Konstruk Pemikiran

PENGUASAAN REFERENSI, KONSEP, DAN ETIKA
Tiga Langkah Signifikan dalam Membangun Konstruk Pemikiran
 

“Berapa ayat Al-Quran dan hadits Nabi yang sudah Anda hafal?”
“Berapa banyak data sejarah dan informasi penting yang sudah Anda telaah?”
“Seberapa kuat Anda menguasai metode keilmuan yang menjadi spesialisasi Anda?”
“Secanggih apa Anda bisa menerapkan konsep-konsep keilmuan itu secara aplikatif?”

Ini contoh pertanyaan-pertanyaan ringan yang sejujurnya sangat berat untuk kita jawab secara jujur. Apalagi dua pertanyaan berikut ini:

“Berapa banyak poin ilmu yang sudah Anda amalkan secara nyata?”
“Sudahkah amal-amal itu Anda ikhlaskan semata untuk mengabdi kepada Allah?”

Para mahasiswa, serta kalangan akademik maupun penuntut dan pegiat keilmuan umumnya, sering ditimpa oleh dua kemiskinan dalam bidang ilmu, yaitu kemiskinan materi dan kemiskinan metodologi. Tidak ketinggalan para mahasiswa penuntut ilmu-ilmu keislaman seperti saya. Kemiskinan tersebut bisa ditengarai dari jawaban kita akan pertanyaan-pertanyaan mendasar ini:

Jika Anda orang Tafsir, sudahkan Anda hafal Al-Quran serta berapa buku tafsir yang sudah Anda baca dan berapa ayat yang sudah bisa Anda tafsirkan secara ilmiah?

Jika Anda orang Hadits, berapa rawi yang sudah Anda kenal, berapa buku Rijâl dan `Ilal yang sudah Anda baca, serta berapa hadits yang sudah anda hafal dan yang bisa Anda syarah secara ilmiah?

Jika Anda orang Fiqih, berapa banyak buku Fiqih Madzahib yang sudah Anda telaah, berapa besar penguasaan Anda terhadap Ushul Fiqih, serta berapa banyak problematika kontemporer yang sudah bisa Anda pecahkan hukum fiqihnya secara ilmiah?

Jika Anda orang Aqidah, berapa banyak doktrin-doktrin keimanan yang sudah Anda kuasai secara argumentatif serta berapa banyak sekte dan aliran yang sudah Anda telaah dasar-dasar pemikirannya dan bisa Anda analisa secara ilmiah?

Jika Anda orang Lughah, seberapa luas penguasaan Anda terhadap aneka kaedah Nahwu, Sharaf, Balâghah, `Arûdh, Qawâfy, serta seberapa besar cakupan memori Anda untuk kata-kata gharîb yang kerap digunakan dalam prosa-prosa dan puisi Arab?

Jika Anda orang Tarikh, dapatkah Anda menjelaskan runtutan Sejarah itu dari satu masa ke masa yang lain dengan menjelaskan detail tokoh-tokoh serta daerah-daerah dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi, dilengkapi dengan analisa yang mendalam terhadap asal-usul peristiwa serta pelajaran-pelajaran yang bisa diambil darinya sesuai dengan dukungan data yang akurat dan argumentasi yang valid?

Dan demikian seterusnya pertanyaan-pertanyaan ini kita munculkan sesuai dengan spesialisasi bidang studi atau spesialisasi lahan kajian kita masing-masing. Sesuai pengalaman, rata-rata jawaban kita untuk pertanyaan-pertanyaan ini sunggah sangat memprihatinkan.

Nah, bagaimana mengatasinya? Untuk penguasaan dan pengayaan materi, satu-satunya langkah yang efektif adalah dengan meningkatkan rasio bacaan, hafalan, serta dengan perluasan wawasan dan sudut pandang. Sedangkan untuk penguasaan dan penguatan metodologis, solusinya bisa dimulai dari membangun kembali konstruk motode keilmuan kita tersebut secara kokoh dan sistematis.  Di alinea-alinea berikut, kita akan sedikit menelisik poin tersebut.

Tipe dan isi dari metode sebuah kajian ditentukan oleh jenis keilmuan yang menjadi bahan kajiannya. Misalnya metode untuk kajian Sains akan lebih banyak mengandalkan eksperimen-eksperimen dan observasi-observasi empiris, sebab Sains adalah bidang keilmuan yang terfokus pada penelitian atas tabiat alam. Metode untuk kajian Sejarah, juga akan lebih banyak mengandalkan informasi-informasi serta penelitian terhadap lokasi-lokasi historis agar bisa menjadi bahan untuk analisis selanjutnya.

Di sini, paling tidak ada tiga poin besar yang perlu untuk dibangun, ditumbuhkembangkan, atau ditingkatkan sebagai modal dasar dalam membangun mental intelektual dan konstruk pemikiran kita sebagai mahasiswa penuntut ilmu-ilmu keislaman—maupun juga sebagai pegiat keilmuan dan praktisi pemikian secara umum.


1.      Penguasaan Referensi Turâts

Turâts, atau literatur klasik keilmuan Islam, adalah referensi paling penting dalam bidang-bidang disiplin yang kita bincangkan ini. Baik Aqidah, Filsafat, Tasawuf, Etika, Fiqih, Ushul Fiqih, Politik, Ilmu Quran, Tafsir, Hadits, Musthalah, Lughah, Sejarah, Sirah, maupun bidang-bidang determinan keislaman lainnya.

Boleh dikatakan, tidak ada permasalahan kontemporer baru apapun yang terkait dengan tema-tema keislaman dan kemanusiaan yang tidak kita temukan kajiannya dalam buku-buku klasik tersebut. Hal ini telah dibuktikan oleh para cendekiawan dan akademisi muslim selama bertahun-tahun. Maka tidak heran jika muncul adagium yang cukup populer: “mâ taraka'l awwalu li’l âkhir!” (“tidak ada yang belum tersentuh!”).

Yang cukup memprihatinkan, ternyata penguasaan atas literatur-literatur tersebut yang sangat signifikan ini di banyak kalangan masih berada dalam tingkat dan kualitas yang jauh dari standar. Dan lebih memprihatinkan lagi jika kemiskinan kualitas itu juga ternyata diiringi dengan kecerobohan intelektual untuk “comot sana comot sini” lalu “klaim sana klaim sini” dalam wilayah-wilayah yang sangat rawan di Dunia Keilmuan secara instan dan atas spekulasi murni tanpa tanggung-jawab ilmiah.

Sebagai akibatnya, kita menjadi sering menyaksikan beberapa insan akademik yang lantang bicara persoalan Aqidah tapi pengertian Ayat Kursi dan Surat Al-Ikhlâsh saja tidak ia kuasai; atau berlagak mempresentasikan Filsafat Paripatetik dan Wahdatul Wujûd tapi menjelaskan isi An-Najât dan Fushûshu’l Hikam saja masih terbata-bata—apalagi menganalisanya. Ada juga yang berlindung di balik “Hermeneutika Teks” untuk menolak tafsir-tafsir Salaf tapi tidak pernah menamatkan satupun buku Tafsir dan `Ulumul Qur’ân ataupun membaca daftar isi Ar-Risâlah-nya Imam Asy-Syâfi`îy. Dan ada juga yang merasa sangat pe-de untuk menyuarakan “Kritik Matan” padahal sampul Hadyu’s Sârîy dan Syarhul `Ilal saja tidak pernah dilihatnya; atau yang getol mempropagandakan “Analisa Sosiohistoris” terhadap konflik zaman akhir Shahabat, padahal paparan analitik Ibnul `Arabîy, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Katsir dalam poin ini sama sekali tidak pernah dikenalnya.

Nah, disinilah pentingnya untuk membangun kemampuan personal dalam menelaah literatur-literatur primer tersebut serta menggiatkan diri untuk rajin mengkonsumsinya sebanyak mungkin—tentunya dengan skala prioritas dan perancangan yang sistematis. Kegiatan-kegiatan pelatihan mengenal, membaca, dan menelaah literatur turâts adalah salah satu langkah kongkret yang sangat positif dalam memberikan wawasan mendasar di poin ini, guna melejitkan potensi-potensi para civitas akademika muslim untuk mampu menyambungkan wawasannya dengan sampul-sampul intelektual yang tersebar dalam khazanah keilmuan klasik Islam yang agung dan megah itu.

Dengan penguasaan serta penelaahan yang baik dan intensif terhadap hitoriografi, terminologi, dan sistematika serta isi kandungan literatur-literatur turâts tersebut, seorang masisir bi-idznillâh akan mampu mereguk asupan ilmu, wawasan, dan berbagai pelajaran berharga yang bisa dengan mudah ia aplikasikan dalam kehidupan aktualnya di zaman kontemporer. Demikianlah sehingga pelan-pelan ia juga kelak akan menjadi bagian dari parade kontributor dan reformis handal yang berderet rapi dalam garis waktu sejarah umat ini. Sebab meskipun semua tema telah terulas—secara global maupun mendetail—dalam khazanah turâts kita, ruang-ruang kosong yang menunggu kontribusi dan polesan segar kita itu tetaplah banyak dan merata. Persis dengan bunyi ‘pelengkap’ dari adagium di atas: “bal kam taraka’l awwalu li’l âkhir?!” (“tapi justru masih banyak yang perlu diisi!”).


2.      Konsep-konsep Dasar Keilmuan

Secara umum, konsep-konsep dasar keilmuan yang perlu untuk dikuasai oleh seorang pengkaji bisa dipetakan dalam empat bagian: Ontologi, Logika, Epistemologi, dan Metodologi. Ontologi adalah konsep-konsep mengenai keberadaan dan tingkatan obyek-obyek; Logika adalah aturan relasional mengenai perbandingan antar obyek atau antar pernyataan dan nilai keberanan sebuah pernyataan beserta pola-pola penyimpulannya; Epistemologi adalah paham mengenai sumber, media, dan tingkatan ilmu pengetahuan; sedangkan Metodologi adalah kajian mengenai cara-cara yang perlu ditempuh untuk mencapai hasil yang ilmiah dalam sebuah disiplin keilmuan tertentu.

Dengan penguasaan Ontologi, kita mengetahui perbedaan antara hal-hal yang riil (kongkret) dengan hal-hal yang imajiner (abstrak). Sesuatu yang riil itu bisa berupa subyek (maushûf; independentia) dan bisa juga berupa atribut (shifah; dependentia). Sedangkan sesuatu yang imajiner itu bisa berupa dimensi (bu`dun ataupun idhâfah) dan bisa juga berupa ketiadaan (muhâlât ataupun nothing). Dengan penguasaan Ontologi ini, kita juga tahu pasti bahwa sesuatu subyek tidaklah bisa tanpa atribut. Dan sesuatu atribut tidak bisa berdiri sendiri tanpa disandang oleh sesuatu subyek. Dalam Ontologi ini jugalah, ditandaskan sebauh prinsip dasar (badahîy) bahwa “nothing does nothing” atau yang lebih kita kenal dalam ungkapan “fâqidu’sy syai'i lâ yu`thîhi”. Artinya, sebuah ketiadaan tidak akan bisa memberikan/mengadakan keberadaan. Subyek yang secara inheren tidak memiliki sesuatu sifat tertentu, juga tidak mungkin memberikan/menciptakan sifat tersebut secara independen, baik pada dirinya sendiri maupun pada obyek di luar dirinya. Dalam bahasa awamnya, “orang yang tak punya uang, tidak akan bisa memberikan uang secara mandiri”. Di atas ini, ada juga prinsip niscaya lainnya yang menegaskan bahwa sesuatu dengan derajat ontologis yang lebih rendah mustahil mengadakan entitas yang derajatnya lebih tinggi.

Dalam pembacaan historis, kita juga mengerti bahwa ternyata kesalahkaprahan di titik Ontologi inilah yang sering sekali menimbulkan munculnya konsep-konsep absurd pada sekte-sekte kepercayaan. Misalnya Muktazilah yang menganggap Al-Quran itu sebagai Ucapan Allah yang makhlûq fî ghayri mahall (tercipta secara mandiri dan terpisah di luar Tuhan), padahal yang namanya “ucapan” itu adalah atribut yang pasti punya subyek, yang namanya “ucapan” itu pasti dependen pada pengucapnya serta tidak mungkin disandang oleh selain pengucapnya, dan yang namanya atribut itu pasti mengikuti karakter subyeknya (ketika subyeknya itu "Khâliq", maka atributnya adalah "shifatu 'l-Khâliq" dan bukan "makhlûq"). Juga ada aliran Wahdatul Wujûd yang menganggap bahwa Tuhan adalah “keberadaan” (wujûd) yang tunggal dan termanifestasikan dalam semua entitas (mawjûd) makhluk-Nya. Padahal yang namanya “keberadaan” itu derajatnya adalah sebagai atribut atau dimensi, sehingga ia tidak mungkin menciptakan entitas yang derajatnya lebih tinggi semisal manusia atau batu. Adanya “keberadaan” juga baru muncul seiring dengan munculnya entitas yang menyandangnya, jadi sebelum adanya sang makhluk, “keberadaan” yang didaku sebagai “Tuhan” itu belum ada. Dan sesuatu yang belum ada, tentu tidak bisa mencipta.

Ini satu potret singkat bagaimana pentingnya menguasai sebuah konsep dasar keilmuan untuk melandasi kajian-kajian pemikiran lebih lanjut. Konsep Logika—meskipun secara normalnya sudah fithrîy/naluriah—juga sangat penting untuk dikuasai. Sebab konsep inilah yang menjelaskan persamaan, kemiripan, perbedaan, perlawanan, atau pertentangan dua obyek atau dua pernyataan serta menentukan nilai kebenaran sebuah proposisi/statemen berdasarkan penyimpulan-penyimpulan logis melalui aneka silogisme/qiyâs yang memang valid. Begitu juga dengan Konsep Epistemologi yang menuntut argumentasi atas sebuah klaim keilmuan,  yaitu berupa bukti empiris (kâ'inun musyâhad) maupun bukti informatif (naqlun mushaddaq) yang keduanya disertai dengan bukti analitisnya (bahtsun muhaqqaq).

Dalam Epistemologi ini jugalah dikaji urutan otoritas-otoritas yang reliabel untuk dijadikan sebagai referensi ilmiah. Dalam Epistemologi Islam (bahkan juga Epistemologi Umum), tentu saja puncak otoritas itu terletak pada Yang Maha Tahu (melalui Firman-Nya), Utusan Allah (melalui Sunnah-nya), dan konsensus Umat Islam (yang diwakili oleh ulama’-nya). Nah, untuk Konsep Metodologi, rinciannya tentu mengikuti bentuk dan jenis keilmuan yang sedang dikaji. Dalam khazanah Turâts, kita punya Ilmu Aqidah dan Ilmu Kalam untuk mengkaji Keimanan; Ushûl Fiqih dan Qawâ`id Fiqhiyyah untuk mengkaji Hukum Praktis; Ulûmul Qur’ân dan Qawâ’id Tafsîr untuk mengkaji Tafsir Al-Quran; Ilmu Rijâl dan Ilmu `Ilal untuk mengkaji Otentisitas Hadits; Nahwu, Sharaf, Balâghah, dan Fiqhul Lughah untuk mengkaji tema-tema kebahasaaan; dan lain sebagainya.


3.      Orientasi Kajian dan Etika Diskusi

Sekedar penguasaan referensi-referensi dan konsep-konsep tidaklah cukup. Sebab kedua poin tersebut tidak akan membuahkan hasil ilmiahnya secara baik dan maksimal tanpa adanya kedisiplinan pada orientasi kajian dan etika diskusi. Kedisiplinan terhadap orientasi kajian akan mengantarkan ilmu yang kita gali itu menjadi betul-betul bermanfaat, sebab energi yang kita kerahkan dalam melakukan kajian-kajian keilmuan—yang nantinya berbuah bangunan pemikiran itu—tidaklah kita orientasikan untuk hal-hal duniawi semisal cari pamor, unjuk gigi, raup materi, dan sebagainya. Rasulullah justru memperingatkan keras, bahwa ilmu yang tidak diamalkan akan berbalik menjadi musuh pemiliknya di Akherat kelak. Ilmu yang tidak disalurkan secara ikhlas, juga malah akan menyeret pemiliknya untuk menjadi salah satu dari tiga orang yang pertama kali nanti dicelupkan ke dalam api Neraka—na`ûdzu billâh min dzâlik!

Etika Diskusi juga merupakan pagar penting yang akan menjaga sang pengkaji untuk tetap dalam posisi obyektivitas dan nafas ilmiahnya. Pelanggaran-pelanggaran yang kerap terjadi di poin ini adalah klaim tanpa argumen, generalisasi serampangan, haydah (menggeser gawang diskusi), tahshîlu hâshil (argumen pengulangan), mukâbarah (pengeyelan shopistik), mushâdarah `ala 'l-mathlûb (circular reasoning), ramyun fî `amâyah (tembak sebelum paham), dan straw man argument (penilaian stigmatis yang salah alamat).

Sebetulnya, modal paling penting dalam menumbuhkan kedisiplinan dalam etika diskusi adalah dua hal: kejujuran, dan niat baik. Dalam bahasa ulama klasik, dua poin ini disingkat sebagai “al-`adl” atau yang kita bahasakan sebagai “obyektivitas”. Tanpa adanya obyektivitas ini, diskusi akan selalu mandul dan hanya berujung pada “debat kusir”. Dan seperti kata Imam Al-Awzâ`îy, “idzâ arâdallâhu bi qawmin sû'an, alzamahumu’l jadal wa mana`ahumu'l `amal! ” (“Apabila Allah akan menimpakan sebuah bencana untuk sekelompok kaum, maka Allah akan menjadikan mereka suka berdebat dan enggan berbuat”).

Akhir kata, tiga poin besar yang semoga sudah saya paparkan secara “singkat tapi padat” di atas hanyalah sebuah ide konsktruktif untuk mendesain ulang atau membangun dan memperbaiki bangunan keilmuan serta pemikiran kita. Untuk menjelmakannya menjadi sebuah kenyataan, hanya pribadi-pribadi kitalah yang mampu menjawabnya.

Berbagai kekurangan, kegagalan, ataupun kesalahan di masa lampau, perlu segera kita sulap untuk menjadi “pelajaran” bagi langkah kita di masa mendatang. Kata orang Eropa, “Yesterday is history, tomorrow is mistery, today is a reality!”. Kata orang Arab, “mâ madlâ fâta wa’l mu'ammalu ghaibun, fa laka’s sâ`atu'llatî anta fîhâ”. Kata saya, “Yang lampau takkan kembali, yang nanti takkan kemari. Fokuskan untuk hari ini!”. Bârakallâhu fîkum ajma`în!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar